Hari itu, matahari terik menyengat aspal kota. Siti duduk bersandar di bawah rindangnya pohon di pinggir trotoar, tak jauh dari sebuah warung makan sederhana. Laila tertidur di pangkuannya dengan napas berat, sisa-sisa demam belum sepenuhnya reda. Siti memandangi orang-orang berlalu lalang. Ia tak lagi menengadah tangan—tidak hari ini. Tubuhnya terlalu letih, jiwanya seperti mati rasa. Ia hanya ingin diam sejenak, mengisi ulang harapan yang mulai habis.
Dari kejauhan, seorang perempuan paruh baya memperhatikannya. Perempuan itu mengenakan celemek dan membawa baskom penuh cucian piring kotor dari dalam warung. Namanya Bu Rina, pemilik warung yang cukup dikenal di sekitar situ. Awalnya ia ragu, tapi setelah melihat beberapa hari berturut-turut Siti duduk di tempat yang sama, ia memberanikan diri mendekat. "Bu, anaknya kenapa?" tanyanya pelan. Siti terkejut, tak terbiasa disapa ramah oleh orang asing. Ia hanya mengangguk singkat, mencoba menahan air mata.
Beberapa menit kemudian, Bu Rina kembali membawa segelas air dan sepiring nasi hangat. “Makanlah dulu. Anak ibu butuh tenaga juga.” Siti menatap makanan itu dengan mata berkaca-kaca, mulutnya gemetar menahan gengsi. Namun ketika melihat Laila menggeliat lapar, ia mengucapkan terima kasih lirih dan menerima pemberian itu dengan tangan gemetar. Makanan yang sederhana itu terasa seperti anugerah yang tak terhingga.
Setelah itu, Bu Rina sering menyapa. Tak banyak bicara, tapi ada ketulusan di mata dan sikapnya. Hingga suatu sore, ketika Siti kembali duduk di trotoar, Bu Rina memanggil dari dalam warung. “Kalau Ibu butuh kerja, saya butuh orang bantuin cuci piring. Gajinya nggak seberapa, tapi lumayan buat makan,” katanya. Tawaran itu membuat jantung Siti berdebar. Ia tak percaya masih ada orang yang mau memberinya kesempatan.
Keesokan harinya, Siti mulai bekerja. Ia datang lebih pagi dari karyawan lain. Mencuci piring, membersihkan meja, menyapu lantai. Laila ditidurkan di pojok warung dengan alas seadanya. Bu Rina sesekali memperhatikan anak itu, bahkan menyisihkan sedikit makanan untuknya. Meski pekerjaannya berat dan tangannya mulai kasar, Siti merasa hidupnya mulai memiliki arah. Ada rutinitas. Ada sedikit rasa hormat.
Namun tidak semua orang di warung menerima kehadiran Siti. Salah satu karyawan lama, Yani, mulai menunjukkan sikap sinis. Ia merasa tersaingi, apalagi melihat perhatian Bu Rina kepada Siti dan anaknya. Beberapa kali ia melontarkan sindiran, bahkan menuduh Siti berpura-pura miskin demi dikasihani. Siti menahan diri. Ia tahu ia bukan siapa-siapa, dan pekerjaan ini satu-satunya harapan yang ia miliki.
Laila yang terbiasa bersama ibunya mulai rewel ketika ditinggal bekerja. Tangisnya kadang mengganggu suasana warung. Siti mulai diliputi dilema. Ia takut kehilangan pekerjaan ini, tapi juga tak bisa membiarkan Laila terus sendirian. Beberapa pelanggan mulai mengeluh. Tekanan datang dari banyak arah, membuat Siti kembali gelisah. Harapan yang sempat ia genggam mulai terasa licin.
Di suatu malam yang sunyi, Siti duduk di lantai dapur setelah selesai bekerja. Ia memandangi Laila yang tertidur dengan tubuh kurusnya yang mulai menghangat kembali. Di dada Siti, ada rasa syukur, sekaligus cemas. Hidup belum berubah banyak, tapi ia tahu ini adalah titik terang pertama yang ia temui setelah lama berada dalam kegelapan. Warung kecil itu, dan tangan tulus Bu Rina, telah membuka sedikit celah bagi cahaya masuk.
Di luar warung, kota masih sama bising dan kerasnya. Tapi kini, di ujung trotoar tempat biasa ia duduk mengemis, sudah tak ada lagi dirinya. Di sana, yang tertinggal hanya bayangan. Siti telah melangkah—meski belum jauh, tapi cukup untuk tahu bahwa harapan itu nyata, meski kecil dan tak bersuara