Pilihan yang Menyakitkan

Pilihan yang Menyakitkan

Sudah hampir dua bulan Siti bekerja di warung Bu Rina. Wajahnya mulai tampak lebih segar, dan Laila pun kini tampak lebih sehat. Tubuh kecilnya tak lagi pucat seperti dulu. Setiap pagi, mereka berdua datang lebih awal. Siti membersihkan warung, sementara Laila bermain dengan sendok-sendok plastik bekas atau menggambar di kertas bekas struk belanja. Namun seiring waktu, masalah baru mulai muncul: Laila mulai bosan, rewel, dan sering menangis saat Siti sibuk di dapur.

Bu Rina sesungguhnya memahami keadaan Siti, tapi pelanggan mulai komplain. Beberapa tak nyaman dengan suara tangis anak kecil saat makan siang. Siti pun mulai merasa gelisah. Ia tak ingin kehilangan pekerjaan yang sudah menjadi titik terang dalam hidupnya. Tapi ia juga tak sanggup meninggalkan Laila di kontrakan sendirian. Gadis kecil itu terlalu rapuh untuk ditinggal, dan tak ada siapa-siapa di dunia ini yang bisa menjaganya selain dirinya sendiri.

Suatu hari, Bu Rina memberikan saran yang berat. "Coba titipkan Laila di tempat penitipan anak, Bu. Biar Ibu bisa lebih fokus kerja, nanti saya bantu sebagian biayanya." Kalimat itu terasa seperti pisau bagi Siti. Ia tahu maksud Bu Rina baik, tapi bagaimana bisa ia melepas anak satu-satunya, yang selama ini menjadi satu-satunya alasan ia bertahan? Ia mengangguk pelan, tapi hatinya kacau.

Di sisi lain, hubungan Siti dengan Yani semakin memburuk. Yani secara terang-terangan menyindirnya sebagai "peminta-minta yang beruntung". Bahkan sempat satu hari Laila jatuh terpeleset di warung, dan Yani menyalahkan Siti karena membawa anak kecil ke tempat kerja. Bu Rina menengahi, tapi Siti tahu, posisinya makin sulit. Ia berada di ujung tali yang makin menipis.

Di tengah kebimbangan itu, datang seorang pria asing ke warung. Ia memperhatikan Siti dari jauh, lalu menghampiri Bu Rina dan bertanya, “Apakah perempuan itu bernama Siti?” Siti menoleh dengan waspada. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Farid, teman lama suaminya. “Saya tidak tahu apakah ini saat yang tepat, tapi saya diminta menyampaikan sesuatu… tentang suami Ibu,” katanya lirih. Jantung Siti berdetak cepat, seolah masa lalu kembali mengetuk dengan suara yang berat.

Farid bercerita bahwa suaminya, Rafi, kini berada di luar kota dan mengalami gangguan mental sejak beberapa bulan terakhir. Ia kabur dari rumah karena tekanan kerja, utang, dan depresi yang tak ia ceritakan pada siapa pun. Kini, ia dirawat di rumah rehabilitasi. Mendengar itu, Siti terdiam. Marah, kecewa, bingung, semuanya campur aduk. Namun lebih dari itu, ia merasa lelah. Lelah karena selama ini tak pernah tahu alasan kepergiannya.

Setelah pertemuan itu, malamnya Siti menatap langit dari pintu kontrakan. Laila sudah tertidur. Hatinya campur aduk. Haruskah ia menjenguk suaminya dan membuka luka lama? Ataukah cukup melangkah ke depan dan mengubur masa lalu? Dan yang lebih berat: haruskah ia menitipkan Laila demi bisa bertahan di pekerjaan yang satu-satunya ia miliki sekarang?

Keesokan paginya, Siti mencoba menitipkan Laila ke penitipan anak sederhana tak jauh dari warung. Hatinya remuk melihat anak itu menangis saat ditinggal. Sepanjang hari, pekerjaannya tak fokus. Ia menumpahkan air, memecahkan satu piring. Tapi ia terus menahan diri. Saat sore tiba dan ia menjemput Laila, pelukan anak itu membuat air matanya pecah. “Jangan tinggalin aku lagi, Bu…” bisik Laila.

Malam itu, Siti tak tidur. Ia sadar, apa pun pilihan yang ia ambil akan menyakitkan. Tapi ia juga tahu, ia harus menjadi ibu yang kuat, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk membangun sesuatu yang lebih baik. Esok pagi, ia datang ke warung dan bicara pada Bu Rina: “Saya mau coba mulai usaha kecil. Saya butuh lebih banyak waktu dengan anak saya. Tapi saya akan terus belajar, Bu, asal saya tak harus kehilangan Laila.” Bu Rina mengangguk. Tak berkata banyak, tapi wajahnya mengerti.

Hari itu, untuk pertama kalinya, Siti melangkah keluar dari warung bukan sebagai pengemis, bukan juga sebagai karyawan. Tapi sebagai ibu yang sedang mencoba menjadi sesuatu: kuat, mandiri, dan tetap utuh. Meski langit masih tampak kelabu, ia tahu, langkah berikutnya akan menentukan segalanya.

Langit Untuk Laila....#5

admin

Post a Comment

Previous Post Next Post