Setelah tanjakan panjang yang bikin dengkul nanya “Ini beneran hobi atau kurang kerjaan?”, Gue akhirnya sampai di Puncak Bayangan. Udara makin dingin, kabut turun kayak selimut horror, dan suasana heningnya enggak wajar. Di kejauhan, ada cahaya... melayang pelan, nggak terlalu terang, tapi cukup bikin penasaran sekaligus was-was.
“Gue pikir itu lampu tenda orang,” kata Hasnawi sambil menatap jauh, “Tapi anehnya... cahaya itu nggak punya bayangan.” Arip langsung menyela, “Hah? Maksudnya kayak... dia anti gravitasi visual gitu?” Hendra dan Asep udah mulai geser duduk, jaga-jaga kalau cerita ini berubah jadi film.
Gue coba dekati cahaya itu dengan melangkah pelan, tapi jantung gue nggak ngikutin ritme hiking. Senter masih digenggam erat, tapi seperti tau diri, senter malah kedip-kedip lagi. “Gue udah kayak pemain film dokumenter horror: pencahayaan minim, sendirian, dan mau bertemu ‘sesuatu’.”
Semakin gue dekati, sosok samar mulai terlihat di balik cahaya. Tinggi, diam, lehernya miring kayak abis salah tidur di tenda. Tubuhnya nggak terlalu jelas, lebih kayak bayangan yang dibentuk kabut. “Gue spontan ngomong pelan, ‘Permisi…’ padahal dalam hati pengen teriak, ‘Save me Google Maps!’”
Sosok itu nggak bereaksi. Tapi perlahan, cahaya mulai bergeser mundur, seolah mengajak gue mengikuti. Di sini, logika mulai ditinggalkan. “Gue enggak mikir. Otak gue lagi ditaruh di ransel belakang, yang gerak cuma kaki dan niat yang entah darimana.”
Saat jarak makin dekat, terdengar bisikan. Bukan suara manusia. Lebih kayak... frekuensi radio tua yang nyangkut saluran gaib. Kata-katanya nggak jelas, tapi rasanya menembus dada. “Gue ngerasa kayak ditanya... bukan sama makhluk, tapi sama diri gue yang nggak pernah gue temui.”
Tiba-tiba sosok itu hilang. Cahaya padam tanpa suara, kabut tetap diam, dan yang tersisa cuma jantung Hasnawi yang degupnya mirip drum metal. “Gue duduk... bingung, takut, tapi juga kayak baru selesai wawancara sama semesta.”
Di kos Calculus, ketiga temannya udah nunduk semua. Hendra pegang bantal kayak tameng, Asep udah nggak makan gorengan lagi, dan Arip... gelas kopinya kosong tapi belum diminum. “Itu baru puncak bayangan,” kata Hasnawi, “Belum gue ceritain turunnya.”