Kota yang Tak Ramah

Di bawah Naungan Atap Langit untuk Laila

Hari-hari berlalu seperti musim yang tak berpindah. Siti mulai mengenal ritme jalanan kota yang bising dan penuh hiruk-pikuk. Setiap pagi ia berangkat dari kontrakan kecilnya, menggendong Laila yang masih setengah mengantuk. Di bawah bayang-bayang gedung dan papan reklame, ia berdiri di lampu merah dengan tangan menengadah, berharap pada belas kasihan orang-orang yang melintas dengan kendaraan mewah.

Namun tidak semua hari membawa receh dan senyum. Ada yang membuang muka, ada yang mencibir, bahkan tak jarang mengusir dengan suara keras. “Bekerja dong, Bu! Jangan malas!” teriak seorang pria dari balik kaca mobil gelap. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari dinginnya pagi. Padahal, Siti sudah mencoba. Ia sudah mencari pekerjaan, dari warung hingga pabrik kecil, namun selalu ditolak karena tak punya ijazah atau pengalaman.

Suatu hari, Laila mulai batuk. Batuk kecil itu makin menjadi, disertai demam yang tak kunjung turun. Siti membawa anaknya ke posyandu, namun obat generik yang diberikan hanya bertahan sementara. Tidur di emperan toko dan menghirup debu jalanan membuat kondisi Laila memburuk. Siti merasa bersalah. Ia mulai meragukan keputusannya untuk bertahan di kota ini. Tapi ke mana lagi ia bisa pergi?

Di tengah kekacauan pikirannya, Siti mencoba lagi mencari pekerjaan. Ia mendatangi toko kelontong, rumah makan, bahkan menawarkan diri jadi tukang bersih-bersih di tempat laundry. Semua pintu tertutup. Beberapa menolak halus, sebagian lain bahkan tak menyuruhnya masuk. Wajah letihnya dan anak kecil di pelukannya menjadi alasan tak tertulis untuk ditolak. Kota ini seperti tak memberi ruang bagi orang yang jatuh.

Di tengah rasa frustrasi, Siti duduk di taman kota, mengusap peluh sambil menenangkan Laila yang rewel karena lapar. Ia hanya mampu membeli satu bungkus nasi kucing dan membaginya menjadi dua. Saat Laila memakan bagiannya dengan lahap, Siti hanya bisa menatap kosong. Air mata jatuh, namun buru-buru ia sapu, takut Laila melihatnya sedih. Ia harus tetap terlihat kuat, setidaknya untuk anak itu.

Malam hari, di bawah cahaya lampu jalanan, Siti kembali memeluk Laila erat. Suara kendaraan masih berlalu-lalang, tapi pikirannya tenggelam dalam kebisuan. Ia berpikir tentang hidupnya sebelum ini—saat suaminya masih pulang, saat dapur masih mengepul, saat ia tak harus menjual harga dirinya untuk bertahan hidup. Tapi itu semua kini tinggal bayangan. Ia hanya punya satu hal yang nyata: Laila.

Besoknya, ia kembali ke jalan. Kali ini ia mencoba berdiri di trotoar dekat perempatan lain, berharap wajah-wajah baru lebih murah hati. Di sela terik dan debu, ada satu hal yang membuatnya tetap kuat—setiap kali ia melihat mata Laila, ia merasa masih ada yang harus ia lindungi, seseorang yang tak bisa ia kecewakan. Gadis kecil itu adalah satu-satunya alasan ia belum menyerah.

Siti tahu kota ini kejam. Tapi ia juga tahu, jika terus bergerak, mungkin suatu hari akan ada pintu yang terbuka. Ia belum tahu kapan atau di mana, tapi ia berjanji dalam hati: ia akan bertahan. Untuk Laila. Demi harapan yang tak boleh mati, bahkan di kota yang tak ramah sekalipun.

Secercah Harapan di Ujung Trotoar.... #3

admin

Post a Comment

Previous Post Next Post