Di Balik Kabut dan Doa

Penampakan yang tidak nampak

Setelah cahaya misterius menghilang tanpa jejak, disitu gue berdiri lama di puncak bayangan. Dada terasa berat, bukan karena lelah, tapi kayak ada beban invisible yang nempel di pundak. “Gue enggak nangis... tapi rasanya kayak habis dimarahin sama semesta,” ujarnya pelan sambil melirik ke arah jendela kos, seolah kabut dari Cikuray ikut mampir.

Jalur turun mulai gue lewati. Melangkah pelan, karena kaki udah protes sejak tiga episode lalu. Kabut masih tebal, udara dingin menusuk, dan pohon-pohon di sekeliling makin rapat. “Itu hutan... bukan buat jalan pulang. Itu hutan buat kontemplasi,” katanya, lebih ke diri sendiri.

Di satu titik, suara aneh muncul lagi. Tapi kali ini... bukan bisikan. Lebih mirip... lantunan. “Gue dengar suara azan. Tapi bukan dari masjid. Kayak dari atas pohon, dari langit, atau mungkin dari dalam pikiran. Tapi jelas banget, syahdu, dan merinding.”

Sontak gue berhenti. Duduk bersila di tengah jalur yang sepi. “Gue enggak tahu harus ngapain. Tapi tubuh gue kayak bilang, ‘Doa dulu, Wi. Lo udah sampai titik meditasi alam.’” Gue membaca doa yang bisa dihafal pelan, zikir, sambil mengatur napas. Tapi makin gue tenang, makin alam terasa mendekat.

Kabut di sekeliling menggulung, bukan turun. Seolah menarik gue masuk ke ruang lain. Dalam keadaan semi sadar, gue melihat diriku berdiri di tengah lingkaran sosok-sosok tinggi, diam, tanpa wajah. Mata mereka hitam, tapi... menyerap, bukan menakutkan.

Salah satu sosok menunjuk ke arah pohon besar—mirip yang gue temui nanti di jalur dibawah. Lalu semuanya lenyap. “Gue bangun kayak orang abis mimpi aneh. Tapi jelas... itu bukan mimpi. Itu kayak... pemberitahuan formal dari dunia lain.”

Saat benar-benar sampai di pohon itu, gue langsung otomatis berhenti. Tanah di bawahnya hangat. Angin seperti berhenti menghormati. Dan saat gue duduk bersila... air mata jatuh begitu saja. “Gue enggak sedih. Tapi rasanya kayak... baru ketemu diri gue yang hilang selama ini.”

Di kos Calculus, ketiga sahabatnya udah nggak banyak gerak. Hendra melipat tangan, Asep nggak berani nanya, dan Arip udah pegang gelas kosong dari tadi. Bahkan suara jam dinding di sudut kamar terasa lebih nyaring. Sunyi.

“Sejak itu,” lanjut Hasnawi, “gue tahu... gunung enggak cuma tinggi. Tapi dalam. Kadang dia nanyain lo: lo mau naik... atau mau kenal diri lo sendiri?”

admin

Post a Comment

Previous Post Next Post