Pagi itu gerimis turun perlahan, membasahi genteng kontrakan reyot yang sudah lama tak disentuh cat. Di dalam ruangan sempit berukuran tiga kali tiga meter, Siti terduduk lemas di samping anak perempuannya yang masih terlelap. Laila, gadis kecil berusia tiga tahun, memeluk boneka lusuh pemberian tetangga yang sudah pindah. Siti mengelus rambut anaknya pelan, sambil menatap sudut ruangan kosong tempat suaminya biasa meletakkan tas kerja. Sudah delapan bulan sejak pria itu pergi—tanpa sepatah kata, tanpa pamit, hanya meninggalkan sepotong kenyataan yang pahit: ditinggalkan.
Awalnya Siti mencoba kuat. Ia menyisakan uang terakhir dari tabungan kecil mereka untuk membeli beras, membayar listrik, dan kebutuhan Laila. Tapi waktu berjalan lebih cepat dari harapan. Utang sewa kontrakan menumpuk dua bulan, dan pemilik kontrakan mulai menagih dengan suara tinggi. Ia sudah melamar ke banyak tempat: jadi penjaga toko, buruh cuci, bahkan cleaning service di sebuah kantor kecil. Semua menolak dengan alasan yang sama: tidak ada ijazah, tidak ada pengalaman.
Suatu siang, perut Laila keroncongan. Anak itu menangis meminta susu, tapi Siti hanya bisa menyodorkan air putih dan sepiring nasi sisa kemarin yang dipanaskan ulang. Ia mencoba meminjam uang dari beberapa kenalan, tapi wajah-wajah itu kini seolah tak mengenalnya lagi. Waktu berjalan, dan ia semakin tersudut. Di titik terendah itu, Siti mengambil keputusan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya: turun ke jalan.
Dengan Laila digendong dalam jarik lusuh, Siti melangkah pelan ke pusat kota. Jalanan sibuk dengan orang lalu-lalang. Ia berdiri di persimpangan lampu merah, menunduk malu. Satu tangan menggendong anaknya, tangan lain menengadah. Orang-orang lewat begitu saja. Ada yang melihat sekilas lalu berpaling. Ada yang mengumpat pelan. Hanya satu-dua yang menyelipkan recehan tanpa berkata apa-apa. Setiap koin yang jatuh di kaleng kecilnya seperti cambukan pada harga dirinya.
Sore harinya, hujan kembali turun. Siti dan Laila berteduh di emperan toko yang sudah tutup. Anak itu tertidur di pangkuannya, kedinginan. Siti memeluk tubuh kecil itu, menggigil. Ia tak menangis, karena air mata pun seperti sudah habis. Yang tersisa hanyalah tatapan kosong menembus langit yang muram. Di benaknya, hanya ada pertanyaan: mengapa ia ditinggalkan? Apa salahnya?
Malam datang. Ia kembali ke kontrakan dengan uang tak seberapa dan tubuh yang lelah. Di dalam, ia menyulut lilin kecil karena listrik sudah diputus. Ia menyuapi Laila bubur instan yang dibeli dari warung. Anak itu tersenyum lemah, mencium pipinya dan berkata, “Ibu jangan sedih.” Ucapan sederhana itu membuat dadanya sesak. Di tengah kemiskinan dan kesepian, hanya Laila yang membuatnya terus hidup.
Esok paginya, Siti duduk termenung di pintu kontrakan. Ia tahu ia tak bisa terus seperti ini. Tapi apa pilihan yang ia miliki? Dunia terasa sempit, jalanan tak ramah, dan pintu-pintu semua tertutup. Tapi ia sadar, ada satu hal yang belum padam: cintanya pada Laila. Itu yang akan membuatnya bertahan, meski harus menelan kepahitan demi kepahitan.
Saat mentari mulai naik, Siti kembali menggendong Laila dan melangkah ke luar. Hari baru, luka yang sama. Tapi ia percaya, mungkin suatu hari nanti, langit akan terbuka juga untuk mereka—walau hanya sedikit.