Langit untuk Laila

Langit untuk Laila

Pagi itu, langit tampak lebih cerah dari biasanya. Siti berdiri di depan kontrakan dengan nampan kecil berisi gorengan hangat—bakwan, tahu isi, dan pisang goreng yang baru saja ia goreng di dapur mungilnya. Dengan bantuan Bu Rina yang meminjamkan sedikit modal dan peralatan, hari ini menjadi hari pertama Siti mencoba berjualan sendiri, di trotoar dekat sekolah dasar setempat.

Laila menggenggam tangannya erat. Gadis kecil itu sudah tak sering menangis seperti dulu. Pipinya mulai berisi, matanya berbinar melihat murid-murid sekolah berlarian. Siti menggelar tikar kecil dan menata dagangannya. Meski hanya sedikit, ada rasa bangga di hatinya. Ini bukan mengemis. Ini adalah usaha. Usaha untuk bangkit, untuk memberikan kehidupan yang lebih layak bagi Laila.

Awalnya, tak banyak yang membeli. Tapi beberapa ibu-ibu menanyakan harga, mencicipi gorengannya, dan memuji rasanya. Seorang guru bahkan berkata, “Bakwannya renyah, Bu. Nanti saya pesan buat besok, ya.” Siti tersenyum untuk pertama kalinya tanpa beban. Pelan-pelan, harapan itu benar-benar mulai tumbuh, bukan hanya dalam bayangan.

Sore hari, dagangannya hampir habis. Uang di tangan memang belum banyak, tapi cukup untuk membeli beras, sayur, dan susu untuk Laila. Ia bahkan menyisihkan sebagian kecil untuk ditabung, sekecil apa pun. Di hatinya, mulai muncul mimpi: mungkin suatu hari nanti ia bisa punya warung kecil sendiri, dengan papan nama bertuliskan "Gorengan Laila."

Hubungannya dengan Bu Rina tetap hangat. Mereka masih saling bantu, dan kini Siti sesekali membantu di warung di sore hari. Yani sudah keluar bekerja, membuat suasana warung jadi lebih tenang. Siti tak lagi melihat dirinya sebagai korban. Ia mulai memandang hidup sebagai proses panjang. Ia tak tahu akhir jalannya, tapi untuk pertama kalinya, ia percaya bisa sampai.

Suatu malam, Siti membuka buku tulis kosong dan mencoretkan angka-angka, belajar mengatur penghasilan harian. Ia bahkan belajar menulis nama Laila dengan huruf besar, berharap suatu saat bisa mengajarinya membaca. Laila duduk di sampingnya, menggambar matahari dan langit biru dengan krayon bekas. “Itu langit untuk kita ya, Bu?” katanya polos. Siti menatapnya dan mengangguk sambil menahan air mata.

Beberapa hari kemudian, Farid datang lagi. Ia memberi kabar bahwa suaminya, Rafi, mulai membaik. Ada kemungkinan ia akan segera keluar dari rehabilitasi. Tapi kali ini, Siti tak lagi guncang. Ia sudah tahu pilihannya. “Kalau dia ingin bertemu Laila, aku tidak akan melarang. Tapi aku tidak akan kembali ke masa lalu,” katanya mantap. Farid hanya mengangguk pelan, menghormati keputusan itu.

Malam demi malam, Siti tidur dengan perasaan lebih tenang. Ia tahu hidup masih panjang, dan cobaan tak akan berhenti. Tapi setidaknya, ia tak lagi berdiri sendirian di bawah langit kota yang dingin. Kini, ia berdiri tegak—sebagai ibu, sebagai perempuan, dan sebagai manusia yang memilih untuk bangkit, bukan menyerah.

Dan langit itu... ya, langit itu kini bukan lagi sekadar atap kosong di atas penderitaan. Langit itu kini punya nama: Langit untuk Laila.

Di Bawah Naungan Atap langit untuk Laila ... #1

admin

Post a Comment

Previous Post Next Post