... "Ceritanya sampe disitu, Wi?!" Ujar Hendra yang dari tadi menegangin gelas kopi yang udah kosong. Tanpa intro lagi Hasnawi langsung buka kisah pengalamannya. "Pagi itu udah mulai masuk jam repot. Matahari naik pelan kayak mahasiswa bangun kuliah jam 7 tapi masih ngecek notifikasi. Nah, gue langsung beres-beres carrier. Gue nggak tahu bagian mana yang serem, mana yang luar biasa, sambil ngelipetin tenda, tapi yang jelas, gue pulang bawa cerita.” hehe... canda Hasnawi.
"Lanjut dong, Wi...." Arip menimpali obrolannya. "Ya gue turun gunung dong, ini bukan cuma soal rame atau lebih rame ceritanya, tapi karena ada perasaan kayak… gue udah lewat batas, disepanjang jalur, gue jalan agak terhuyung terdorong beban carrier yang lumayan berat karena jalur yang menurun tajam".
Di satu belokan yang dikelilingi dua batu besar, gue tiba-tiba berhenti, semalam gue lihat sosok aneh di sini. Sosok itu nggak ngomong banyak. Cuma tunjuk jalur sempit di antara batu-batu.
Tiba di Pos Pemancar. Teh manis hangat dan gorengan jadi hidangan puncak—lebih nikmat dari mie instan yang kelebihan air. Di sana, ibu warung yang pernah nyapa gue semalam sebelum muncak, senyum sambil bilang, “Kamu udah pulang. Tapi yang menjaga kamu... masih ada di dalam.” kata ibu warung.
Malam semakin lalut, suasana di kos Calculus mulai sepi, waktu menunjukan pukul 01.56 pagi, Hendra, Asep, dan Arip masih ngumpul disitu mendengarkan kisah demi kisah pengalaman Hasnawi. Nampak rasa kantuk mereka terlihat dari menyempitnya kelopak mata yang semakin sayu. Sementara Asep yang udah berubah posisi nyender ke diding sudah merahpihkan posisinya untuk tertidur. Hasnawi mengakhiri ceritanya, karena dia juga udah merasakan kantuk yang luar biasa.